Istana Negara Indonesia
Istana
Negara yang dahulu dikenal dengan sebutan Istana Rijswijk ini, terletak di
Jalan Veteran Jakarta dan posisinya berada di belakang Istana Merdeka. Dahulu
Rijswijk merupakan tempat tinggal orang-orang Belanda saja. Disini terdapat
bangunan tua milik Pieter Tency yang dibangun pada tahun 1794 yang kemudian
menjadi Hotel der Nederlanden dan kemudian dibongkar dan dibangun kembali
menjadi Gedung Binagraha. Komplek Istana Negara di jalan Rijswijk 17 ini pada
mulanya merupakan areal milik van Isseldijk, salah seorang pejabat Raad vav
Indie. Sepeninggal van Isseldijk, Hotel der Nederlanden jatuh ke tangan
Stamford Raffles, sedangkan bangunan No.17 menjadi milik Jacob Andries van
Braam (Dinas Museum dan Sejarah, 1993:40). Istana Rijswijk ini bangun pada
tahun 1796, pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Pieter Gerardus van
Overstraten. Seperti halnya bangunan Istana Merdeka, Istana Negara juga
memiliki gaya arsitektur Palladio yang dapat dilihat dengan jelas dari tampilan
eksterior gedung ini yang menghadirkan kolomkolom besar bercorak Yunani.
Bangunan ini diambil alih oleh pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1816 pada
masa pemerintahan Gubernur Jenderal Johannes Sieberg, dan digunakan sebagai
pusat kegiatan pemerintahan serta kediaman para Gubernur Jenderal Belanda
(Lumintang, 2004:3). Baron van der Capellen mengambil alih kekuasaan dari wakil
Gubernur Inggris, Thomas Stamford Raffles, ia tidak mengambil Raffles House
(yang awalnya bernama Hotel der Nederlanden, kemudian berubah menjadi Hotel
Dharma Nirmala, dan berubah lagi menjadi Bina Graha), dengan alasan pembangunan
Istana Negara yang baru dan mengesankan itu dilakukan saat pemerintah Perancis
di bawah pemerintah Daendels, namun belum selesai sehingga dipilihlah kediaman
Braam yang pada tahun 1820 dinamakan kembali dengan ”Hotel van den
Gouverneur-General” atau ”Hotel Gubernur Jenderal” (Kleinsteuber dan Rusdi,
2008:69) Gubernur Jenderal yang pertama menggunakan gedung Istana Negara
sebagai tempat tinggal dan sekaligus menjadikannya sebagai kantor adalah
Gubernur Jenderal Baron van der Capellen. Sebagai Istana, gedung ini sering
dipergunakan untuk tempat menginap para pegawai tinggi pemerintah Hindia
Belanda setelah mengikuti Sidang Dewan Hindia Belanda (Raad van Indie) yang
setiap kali diadakan di Batavia. Sejak saat itulah peran gedung ini terus
dipertahankan sebagai tempat tinggal, kantor dan tempat sidang hingga
pemerintahan Gubernur Jenderal Du Bus de Gisignes (1826-1830). Kebijakan
Gubernur Jenderal inilah yang menghasilkan keputusan untuk memadamkan perang
Diponegoro secara licik. Setelah pemerintahan Gubernur Jenderal Du Bus de
Gisignes berakhir, maka diganti oleh Gubernur Jenderal van Den Bosch (1830-
1833). Gubernur Jenderal ini dikenal sangat kejam karena memaksa rakyat untuk
menanam tanaman-tanaman yang sangat laku untuk orang-orang Eropa. Tindakan ini
kemudian dikenal dengan sistem tanam paksa (cultuurstelsel) (Dinas Museum dan
Sejarah, 1993:41). Istana Negara seperti halnya Istana Merdeka, dibangun
mengikuti konsep rumah panggung untuk memperhitungkan kemungkinan banjir atau
pasang surut air. Konsep rumah panggung itu juga berfungsi sebagai sarana
aliran udara (ventilasi) untuk menyejukkan isi bangunan. Dengan hadirnya
teknologi penyejuk udara di masa modern, bagian bawah ini kemudian ditembok dan
diubah menjadi berbagai ruang layanan, seperti dapur, gudang, dan sebagainya.
Gedung Istana Negara ini termasuk dalam bangunan yang dilindungi oleh
Undang-Undang Cagar Budaya (monumen), oleh karena itu sejarahnya pemugaran yang
dilakukan oleh para penguasa gedung ini selalu menjaga untuk tetap
mempertahankan wajah aslinya. Serambi depan dengan tiang-tiang kokoh dan kekar
yang merupakan ciri khas bangunan kolonial, masih tampak seperti ketika pertama
kali gedung ini dibangun. Peristiwa-peristiwa penting yang pernah terjadi di
Istana Negara antara lain adalah sebagai tempat ketika Jenderal de Kock
menguraikan rencana untuk menindas pemberontakan Pangeran Diponegoro dan
merumuskan strateginya dalam menghadapi Tuanku Imam Bonjol kepada Gubernur
Jenderal Baron van der Capellen. Setelah kemerdekaan, pada tanggal 25 Maret
1947 digunakan sebagai tempat penandatanganan naskah Persetujuan Linggarjati,
dimana Indonesia diwakili oleh Sutan Sjahrir dan Belanda diwakili oleh Dr. Van
Mook. Sampai saat ini Istana Negara berfungsi sebagai pusat kegiatan
pemerintahan negara, diantaranya menjadi tempat penyelenggaraan acara - acara
yang bersifat kenegaraan, seperti pelantikan pejabat - pejabat tinggi negara,
pembukaan musyawarah, dan rapat kerja nasional, pembukaan kongres bersifat
nasional dan internasioal, dan tempat jamuan kenegaraan.
Nasionalisme
Dalam Arsitektur
Nasionalisme
adalah satu paham yang menciptakan dan mempertahankankedaulatansebuah negaradengan
mewujudkan satu konsep identitas bersama untuk sekelompokmanusia. (wikipedia.org).
Nasionalisme dalam arsitektur adalah ketika ia berkontribusidalam penguatan kecintaan
terhadap bangsa. Seorang arsitek dapat merancang karyaarsitektur dengan
nilai-nilai dan budaya arsitektur lokal, serta memakai sumber dayadan teknologi
serta material lokal. Sejarah keagungan karya cipta arsitektur indonesiatelah
menghasilkan karya-karya hebat pada masa lalu, menjadi sebuah bukti bahwa bangsa
Indonesia mempunyai ilmu dan budaya ber-arsitektur yang unggul.
Ruang-ruang arsitektur
pada masa lalu, yang pada dasarnya adalah membentuk citradan
identitas bangsa itu sendiri. Kekayaan arsitektur tradisional Indonesia
merupakan arsitektur sederhana yangmemiliki konsep menghormati alam. Hal ini
terlihat pada proses-proses pembangunan dan penggunaan material-material lokal
setempat. Wilayah Indonesia yang luas serta memiliki topografi beragam serta
iklim yang berbeda-beda, juga menciptakan karyaarsitektur yang kaya ragam,
sehingga Indonesia memiliki kekayaan arsitekturtradisional yang banyak dan
memiliki karakter kedaerahannya masing-masing.
Simbol
Penjajahan Kolonial Bangunan Istana Negara
Tanpa
disadari dan dipahami dan seolah disengaja, bangsa Indonesia begitu mensakralkan
bangunan yang menjadi Istana Negara Indonesia sekarang ini, sebagai bangunan
yang mewakili identitas dan jati diri asli bangsa Indonesia, ironisnya bangunan
yang dipakai sebagai Istana Negara dan pusat pemerintahan sekarang
adalah bangunan peninggalan pemerintahan kolonial Hindia Belanda yang telah
sekian lama dijadikan tempat bagi para pejabat kolonial pada waktu itu
menjalankan pemerintahan yang menindas bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia seolah
tidak menyadari, selain pendudukan secara fisik yang dilakukan pada waktu itu,
bangsa kolonial Belanda juga menancapkan pengaruhnya dalam segala bidang
kehidupan, salah satunya adalah upaya untuk mendegradasi dan menghilangkan
identitas bangsa Indonesia itu sendiri,sehingga bangsa Indonesia akan
kehilangan jati dirinya dan tercabut dari akar budayadan nilai-nilai kabajikan
warisan leluhurnya, hingga pada akhirnya menjadi bangsa yang kehilangan rasa
nasionalismenya. Salah satu bentuk penjajahan menyeluruh yang dilakukan bangsa kolonial Belanda adalah dalam bidang arsitektur, arsitektur digunakan
sebagai simbol penjajahan dan pendudukan yang diterapkan secara merata pada
seluruh wilayah pendudukan kolonial Belanda, yaitu berupa pendirian
bangunan bergaya kolonial yang meninggalkan nilai-nilai asli bangsa Indonesia
yang sangat tinggidan luhur nilainya, digantikan dengan bangunan yang Nampak
megah secara fisiksemata, namun tidak mempunyai kedalaman makna dan nilai-nilai
filosofis yangmendalam, serta ajaran-ajaran luhur yang mewakili identitas asli
bangsa Indonesia.Karena arsitektur adalah bagian yang utuh dari jatidiri dan
identitas suatu bangsa, dan bukan hasil fisik semata, melainkan merupakan suatu
proses yang terus berkembang dan terkait dengan budaya dan nilai-nilai
masyarakatnya sepanjang masa. Kolonialisme memberi pengaruh berbeda bagi arsitektur tradisional Indonesia,arsitektur
tradisional Indonesia sedikit demi sedikit ditinggalkan, kolonialisme mengubah
pola pikir masyarakat Indonesia menjadi seperti bangsa barat bahkan dalam cara
berarsitektur, Hal ini menyebabkan kreatifitas dalam berarsitektur
secara tradisional menjadi mati dan berhenti, masyarakat mulai meninggalkan
membangundengan cara, bentuk dan konsep tradisional, mereka mulai beralih
membangun dengan metode-metode, konsep dan bentukan kolonial. Nilai-nilai luhur
yang menjadi identitas Arsitektur tradisional mulai ditinggalkan dan lambat laun
(hingga saat ini) mulai menghilang. Sehingga seolah-olah kita terlihat sebagai
bangsa yang kehilangan jatidirinya dalam hal ber-arsitektur
Tata Letak
Ruang Istana Negara
Seperti
halnya Istana Merdeka, Bangunan Istana Negara juga terbagi menjadi beberapa
ruang yang masing-masing memiliki fungsi yang berbeda. Terdapat sedikit
perbedaan ruang yang terdapat di Istana Merdeka dengan Ruang di Istana Negara.
Adapun ruang-ruang yang terdapat di Istana Negara adalah: Ruang Serambi Depan,
Ruang Tamu, Ruang Koridor, Ruang Jamuan, dan Ruang Upacara. Selanjutnya
ruang-ruang yang ada di Istana Negara secara lebih rinci dapat dijelaskan
sebagai berikut:
a. Ruang Serambi Depan Pada bagian depan
serambi depan ini terdapat 14 buah pilar besar berwarna putih bergaya Doria,
yang menyangga atap bagian depan bangunan. Selain itu, terdapat 3 buah pintu
masuk serta 2 buah jendela yang tinggi dan lebar. Teras yang terdapat di
serambi Istana Negara tidak begitu luas, melainkan hanya terdapat teras
memanjang dengan pilar penyangga untuk pegangan di bagian Komunikasi dan
edukasi. Kesan yang bisa ditangkap dari fisik bangunannya adalah kesan
”kebesaran” yang membedakannya dengan bangunan-bangunan lain. Serambi yang
menghadap ke sungai Ciliwung mengingatkan para Pembesar Belanda yang pernah
tinggal di gedung ini pada kanal-kanal yang terdapat di negeri asal mereka di
kota Amsterdam. Serambi Depan, Istana Negara
b. Ruang Tamu (Ruang Tunggu Utama) Ruang ini
didominasi warna putih dengan langit-langit yang tinggi. Fungsi ruang ini
adalah tempat para tamu yang akan mengikuti suatu acara. Di ruang ini Presiden
dan tamu negara menerima perkenalan dengan para undangan sebelum
dilaksanakannya acara jamuan kenegaraan. Ruang ini digunaka juga sebagai tempat
pertukaran cinderamata antara Presiden dengan Tamu Negara. Oleh karena itu
ruang ini sering juga disebut dengan Ruang Cinderamata. Seperti halnya di
Istana Merdeka, di Istana Negara terdapat dua buah cermin besar peninggalan
pemerintah Belanda yang terpasang pada dinding bagian kiri dan kanan pintu
masuk Istana Negara. Pada sisi dinding bagian timur ruang ini tergantung
lukisan Penari Wanita karya pelukis Rachmansyah dan repro lukisan Suasana Timur
Tengah karya D.Moerilhut. Terdapat pintu yang menuju ke kamar Ruang Tamu yang
lebih kecil. Pada sisi dinding bagian barat lebih dipenuhi foto-foto koleksi
pribadi.
Fungsi utama Ruang Tamu ini antara lain adalah:
1. Tempat bagi para tamu yang akan mengikuti suatu acara.
2. Tempat bagi Presiden dan Tamu
Negara menerima perkenalan dengan para undangan sebelum acara jamuan
kenegaraan.
3. Tempat pertukaran cindera mata antara Presiden dan Tamu Negara.
Di kamar Ruang Tamu terdapat dua helai kerajinan tenun Sumatera berwarna cerah dan dominasi perabot kursi warna putih krem bermotif sulur. Diruang ini juga terpasang lukisan Pantai Flores karya Basoeki Abdullah, lukisan Wajah Seorang Lelaki Bali karya Auke Cornelis Sonnega, lukisan Jenderal Soedirman karya Joes Supadyo, lukisan Pejuang Pantang Menyerah karya Rustamadji, dan lukisan Pantai Madura karya Dake Jr. Carel Lodewijk Koleksi benda seni yang lain yang tersimpan di ruang ini atara lain adalah: guci bermotif pecah seribu dari Cina Timur abad ke XIV, piring hias bermotif bunga dari Cina Timur abad ke XIX, piring hias bermotif bulan dan bunga dari Cina Timur abad ke XIX, piring hias dari Jepang jaman abad ke XVIII, sepasang guci Cloisonne dari Tiongkok, jembangan porselen merah darah sapi dari Cina, tempat sayur bertutup yang terbuat dari perak pemberian Chea Sim, President Senate of Cambodia, tempat nasi bertutup yang terbuat dari perak pemberian dari Keluarga Besar Muslim Chiang Mai, Thailand 19 April 1961,patung perunggu ”Penunggang Kuda” karya Bill Nebeken (1980), sepasang gading, dan patung Barisan Gajah yang terbuat dari gading.
Di kamar Ruang Tamu terdapat dua helai kerajinan tenun Sumatera berwarna cerah dan dominasi perabot kursi warna putih krem bermotif sulur. Diruang ini juga terpasang lukisan Pantai Flores karya Basoeki Abdullah, lukisan Wajah Seorang Lelaki Bali karya Auke Cornelis Sonnega, lukisan Jenderal Soedirman karya Joes Supadyo, lukisan Pejuang Pantang Menyerah karya Rustamadji, dan lukisan Pantai Madura karya Dake Jr. Carel Lodewijk Koleksi benda seni yang lain yang tersimpan di ruang ini atara lain adalah: guci bermotif pecah seribu dari Cina Timur abad ke XIV, piring hias bermotif bunga dari Cina Timur abad ke XIX, piring hias bermotif bulan dan bunga dari Cina Timur abad ke XIX, piring hias dari Jepang jaman abad ke XVIII, sepasang guci Cloisonne dari Tiongkok, jembangan porselen merah darah sapi dari Cina, tempat sayur bertutup yang terbuat dari perak pemberian Chea Sim, President Senate of Cambodia, tempat nasi bertutup yang terbuat dari perak pemberian dari Keluarga Besar Muslim Chiang Mai, Thailand 19 April 1961,patung perunggu ”Penunggang Kuda” karya Bill Nebeken (1980), sepasang gading, dan patung Barisan Gajah yang terbuat dari gading.
c. Ruang Koridor Ruangan ini berfungsi
sebagai penghubung antara Ruang Tamu bagian depan Istana Negara dengan Ruang
Resepsi. Di sisi barat terdapat Ruang Kerja Presiden, dan disebelah timur
terdapat Ruang Tamu Presiden. Dua ruang lainnya adalah ruang tunggu yang
masing-masing di sisi barat adalah Ruang Tunggu Ajudan Presiden waktu acara berlangsung,
sedangkan ruang sebelah timur dipakai untuk Ruang Tunggu Tamu. Di Ruang Koridor
ini tergantung enam buah lukisan besar yang dilengkapi dengan benda-benda
koleksi pribadi, seperti foto-foto keluarga presiden. Keenam lukisan dimaksud
adalah: lukisan Penggembala Kerbau karya Basoeki Abdullah, lukisan Pohon-Pohon
di kebun karya Nakajima, lukisan Bunga Flamboyan karya Sutopo, lukisan Gadis
Bali karya Hatta Hambali, lukisan Sungai dalam Hutan karya Choirun Sholeh, dan
repro lukisan Di Taman karya Claude Monet . Sebuah lemari buku di ruang ini
didalamnya terdapat 3000 buah koleksi buku terbitan terbaru yang menguasai
peredaran dunia buku, tentang pengetahuan terbaru di dunia. Tidak ketibggalan,
satu set buku Ensiklopedia ”the Book of Knowledge” serta ”Britannia” volume 1
sampai 29 tampak pula disana. Buku-buku yang mengarah ke tema militer hampir
tidak terlihat, lebih banyak buku yang mengarah ke perekonomian, manajemen dan
filosofi, termasuk sederet Ensiklopedia Islam.
Koleksi benda-benda seni lain yang terdapat di Ruang Koridor antara lain
adalah: congklak kayu, vas bunga bemotif kepala domba, guci bertutup dari kayu
yang berasal dari Sumatera Selatan, guci bertutup dari Cina Timur abad ke XIX,
patung perunggu Wanita Setengah Badan karya Suerry (1962), patung perunggu
Kepala Seorang Gadis karya T.Pocahauh (Perancis), sepasang patung keramik
Penari Wanita dan Penari Pria karya F. Widayanto, dan Gong Berstandar dari
Gading persembahan Perdana Menteri Malaysia DR. Mahathir Muhammad (Desember
1983).
d. Ruang Jamuan Ruang ini merupakan
ruang yang digunakan pada waktu acara jamuan kenegaraan. Selain itu ruangan ini
berfungsi sebagai ruang ramah tamah para tamu yang menghadiri suatu acara.
Terdapat sekat-sekat ruang yang sering digunakan untuk berbagai acara. Di ruang
ini terdapat sebuah meja makan panjang berbentuk oval yang terbuat dari kayu
jati dan terdapat dua puluh empat kursi duduk atau kursi makan. Kursi makan
yang berlapis kain beludru berwarna krem netral menjadikan ruangan ini nyaman,
asri dan sangat serasi dengan permadani yang terhampar di bawahnya yang
mempunyai paduan warna merah tua dan hijau dengan motif besar. Pada bagian sisi
barat dan sisi timur ruangan terdapat masing-masing sepasang cermin tua
berukuran besar, berbingkai warna emas sebagai penunjang hiasan interior
ruangan. Di Ruang Makan ini juga terpasang koleksi benda seni seperti: lukisan
Ngarai Sianok karya Henk Ngantung, lukisan Panen Padi karya Udin, dan lukisan
Pasar Bunga karya Sarjito .Patung kayu Dewi Saraswati, patung Dewi Saraswati
dan Dewi Gadru, dan Mandau juga terpasang di Ruang Jamuan ini.
e. Ruang Upacara
Ruang Upacara digunakan pada waktu Presiden melantik Pejabat Tinggi
Negara seperti Menteri, Duta Besar, Kepala Staf TNI dan Kepala Kepolisian RI.
Di samping itu ruang ini juga digunakan sebagai tempat pembukaan konferensi,
rapat kerja departeman, tempat penganugerahan bintang jasa atau tempat
diselenggarakannya pertunjukan kesenian bagi para Tamu Negara, hingga ramah
tamah Presiden dengan Veteran Perintis Kemerdekaan dalam rangka peringatan
Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. Ruang yang ditata dengan gaya
neoklasik ini dapat menampung sekitar 1000 tamu undangan berdiri atau 350 tamu
undangan duduk. Ruangan ini dilengkapi dengan panggung acara dibagian selatan
gedung yang biasa digunakan untuk menampilkan pertunjukan kesenian terpilih
dari seluruh pelosok Indonesia yang disajikan kepada Tamu Negara pada Jamuan
Makan Malam Kenegaraan. Pada bagian latar belakang panggung terdapat hiasan berupa
lambang garuda dan gambar peta Indonesia. Di ruang ini pula terdapat dua
perangkat gamelan yang masing-masing adalah gamelan Jawa dan gamelan Bali. Pada
sisi barat dan timur ruang upacara terdapat balkon yang pada masa Hindia
Belanda digunakan sebagai tempat untuk menyaksikan pertunjukan yang biasanya
demeriahkan dengan acara dansa. Di ruang ini terpasang koleksi benda seni
berupa lukisan foto Presiden Republik Indonesia dan para mantan Presiden
Republik Indonesia, yang masingmasing adalah: Presiden Soekarno, Presiden
Soeharto, Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie, Presiden Abdurrahman Wahid,
Presiden Megawati Soekarnoputri, dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Keenam
lukisan tersebut merupakan karya Warso Susilo yang merupakan salah satu pegawai
Istana Kepresidenan Jakarta. Saat ini beliau menjabat sebagai Kepala Subbagian
Penataan Ruangan, Bagian Tata Graha, Biro Pelayanan Kerumahtanggaan, deputi
Kepala Rumah Tangga Kepresidenan Bidang Kerumahtanggaan dan Pengelolaan Istana
Daftar isi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar