Kamis, 24 November 2016



Istana Negara Indonesia

Istana Negara yang dahulu dikenal dengan sebutan Istana Rijswijk ini, terletak di Jalan Veteran Jakarta dan posisinya berada di belakang Istana Merdeka. Dahulu Rijswijk merupakan tempat tinggal orang-orang Belanda saja. Disini terdapat bangunan tua milik Pieter Tency yang dibangun pada tahun 1794 yang kemudian menjadi Hotel der Nederlanden dan kemudian dibongkar dan dibangun kembali menjadi Gedung Binagraha. Komplek Istana Negara di jalan Rijswijk 17 ini pada mulanya merupakan areal milik van Isseldijk, salah seorang pejabat Raad vav Indie. Sepeninggal van Isseldijk, Hotel der Nederlanden jatuh ke tangan Stamford Raffles, sedangkan bangunan No.17 menjadi milik Jacob Andries van Braam (Dinas Museum dan Sejarah, 1993:40). Istana Rijswijk ini bangun pada tahun 1796, pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Pieter Gerardus van Overstraten. Seperti halnya bangunan Istana Merdeka, Istana Negara juga memiliki gaya arsitektur Palladio yang dapat dilihat dengan jelas dari tampilan eksterior gedung ini yang menghadirkan kolomkolom besar bercorak Yunani. Bangunan ini diambil alih oleh pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1816 pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Johannes Sieberg, dan digunakan sebagai pusat kegiatan pemerintahan serta kediaman para Gubernur Jenderal Belanda (Lumintang, 2004:3). Baron van der Capellen mengambil alih kekuasaan dari wakil Gubernur Inggris, Thomas Stamford Raffles, ia tidak mengambil Raffles House (yang awalnya bernama Hotel der Nederlanden, kemudian berubah menjadi Hotel Dharma Nirmala, dan berubah lagi menjadi Bina Graha), dengan alasan pembangunan Istana Negara yang baru dan mengesankan itu dilakukan saat pemerintah Perancis di bawah pemerintah Daendels, namun belum selesai sehingga dipilihlah kediaman Braam yang pada tahun 1820 dinamakan kembali dengan ”Hotel van den Gouverneur-General” atau ”Hotel Gubernur Jenderal” (Kleinsteuber dan Rusdi, 2008:69) Gubernur Jenderal yang pertama menggunakan gedung Istana Negara sebagai tempat tinggal dan sekaligus menjadikannya sebagai kantor adalah Gubernur Jenderal Baron van der Capellen. Sebagai Istana, gedung ini sering dipergunakan untuk tempat menginap para pegawai tinggi pemerintah Hindia Belanda setelah mengikuti Sidang Dewan Hindia Belanda (Raad van Indie) yang setiap kali diadakan di Batavia. Sejak saat itulah peran gedung ini terus dipertahankan sebagai tempat tinggal, kantor dan tempat sidang hingga pemerintahan Gubernur Jenderal Du Bus de Gisignes (1826-1830). Kebijakan Gubernur Jenderal inilah yang menghasilkan keputusan untuk memadamkan perang Diponegoro secara licik. Setelah pemerintahan Gubernur Jenderal Du Bus de Gisignes berakhir, maka diganti oleh Gubernur Jenderal van Den Bosch (1830- 1833). Gubernur Jenderal ini dikenal sangat kejam karena memaksa rakyat untuk menanam tanaman-tanaman yang sangat laku untuk orang-orang Eropa. Tindakan ini kemudian dikenal dengan sistem tanam paksa (cultuurstelsel) (Dinas Museum dan Sejarah, 1993:41). Istana Negara seperti halnya Istana Merdeka, dibangun mengikuti konsep rumah panggung untuk memperhitungkan kemungkinan banjir atau pasang surut air. Konsep rumah panggung itu juga berfungsi sebagai sarana aliran udara (ventilasi) untuk menyejukkan isi bangunan. Dengan hadirnya teknologi penyejuk udara di masa modern, bagian bawah ini kemudian ditembok dan diubah menjadi berbagai ruang layanan, seperti dapur, gudang, dan sebagainya. Gedung Istana Negara ini termasuk dalam bangunan yang dilindungi oleh Undang-Undang Cagar Budaya (monumen), oleh karena itu sejarahnya pemugaran yang dilakukan oleh para penguasa gedung ini selalu menjaga untuk tetap mempertahankan wajah aslinya. Serambi depan dengan tiang-tiang kokoh dan kekar yang merupakan ciri khas bangunan kolonial, masih tampak seperti ketika pertama kali gedung ini dibangun. Peristiwa-peristiwa penting yang pernah terjadi di Istana Negara antara lain adalah sebagai tempat ketika Jenderal de Kock menguraikan rencana untuk menindas pemberontakan Pangeran Diponegoro dan merumuskan strateginya dalam menghadapi Tuanku Imam Bonjol kepada Gubernur Jenderal Baron van der Capellen. Setelah kemerdekaan, pada tanggal 25 Maret 1947 digunakan sebagai tempat penandatanganan naskah Persetujuan Linggarjati, dimana Indonesia diwakili oleh Sutan Sjahrir dan Belanda diwakili oleh Dr. Van Mook. Sampai saat ini Istana Negara berfungsi sebagai pusat kegiatan pemerintahan negara, diantaranya menjadi tempat penyelenggaraan acara - acara yang bersifat kenegaraan, seperti pelantikan pejabat - pejabat tinggi negara, pembukaan musyawarah, dan rapat kerja nasional, pembukaan kongres bersifat nasional dan internasioal, dan tempat jamuan kenegaraan.

Nasionalisme Dalam Arsitektur
Nasionalisme adalah satu paham yang menciptakan dan mempertahankankedaulatansebuah negaradengan mewujudkan satu konsep identitas bersama untuk sekelompokmanusia. (wikipedia.org). Nasionalisme dalam arsitektur adalah ketika ia berkontribusidalam penguatan kecintaan terhadap bangsa. Seorang arsitek dapat merancang karyaarsitektur dengan nilai-nilai dan budaya arsitektur lokal, serta memakai sumber dayadan teknologi serta material lokal. Sejarah keagungan karya cipta arsitektur indonesiatelah menghasilkan karya-karya hebat pada masa lalu, menjadi sebuah bukti bahwa bangsa Indonesia mempunyai ilmu dan budaya ber-arsitektur yang unggul. 

Ruang-ruang arsitektur pada masa lalu, yang pada dasarnya adalah membentuk citradan identitas bangsa itu sendiri. Kekayaan arsitektur tradisional Indonesia merupakan arsitektur sederhana yangmemiliki konsep menghormati alam. Hal ini terlihat pada proses-proses pembangunan dan penggunaan material-material lokal setempat. Wilayah Indonesia yang luas serta memiliki topografi beragam serta iklim yang berbeda-beda, juga menciptakan karyaarsitektur yang kaya ragam, sehingga Indonesia memiliki kekayaan arsitekturtradisional yang banyak dan memiliki karakter kedaerahannya masing-masing.

Simbol Penjajahan Kolonial Bangunan Istana Negara
Tanpa disadari dan dipahami dan seolah disengaja, bangsa Indonesia begitu mensakralkan bangunan yang menjadi Istana Negara Indonesia sekarang ini, sebagai bangunan yang mewakili identitas dan jati diri asli bangsa Indonesia, ironisnya bangunan yang dipakai sebagai Istana Negara dan pusat pemerintahan sekarang adalah bangunan peninggalan pemerintahan kolonial Hindia Belanda yang telah sekian lama dijadikan tempat bagi para pejabat kolonial pada waktu itu menjalankan pemerintahan yang menindas bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia seolah tidak menyadari, selain pendudukan secara fisik yang dilakukan pada waktu itu, bangsa kolonial Belanda juga menancapkan pengaruhnya dalam segala bidang kehidupan, salah satunya adalah upaya untuk mendegradasi dan menghilangkan identitas bangsa Indonesia itu sendiri,sehingga bangsa Indonesia akan kehilangan jati dirinya dan tercabut dari akar budayadan nilai-nilai kabajikan warisan leluhurnya, hingga pada akhirnya menjadi bangsa yang kehilangan rasa nasionalismenya. Salah satu bentuk penjajahan menyeluruh yang dilakukan bangsa kolonial Belanda adalah dalam bidang arsitektur, arsitektur digunakan sebagai simbol penjajahan dan pendudukan yang diterapkan secara merata pada seluruh wilayah pendudukan kolonial Belanda, yaitu berupa pendirian bangunan bergaya kolonial yang meninggalkan nilai-nilai asli bangsa Indonesia yang sangat tinggidan luhur nilainya, digantikan dengan bangunan yang Nampak megah secara fisiksemata, namun tidak mempunyai kedalaman makna dan nilai-nilai filosofis yangmendalam, serta ajaran-ajaran luhur yang mewakili identitas asli bangsa Indonesia.Karena arsitektur adalah bagian yang utuh dari jatidiri dan identitas suatu bangsa, dan bukan hasil fisik semata, melainkan merupakan suatu proses yang terus berkembang dan terkait dengan budaya dan nilai-nilai masyarakatnya sepanjang masa. Kolonialisme memberi pengaruh berbeda bagi arsitektur tradisional Indonesia,arsitektur tradisional Indonesia sedikit demi sedikit ditinggalkan, kolonialisme mengubah pola pikir masyarakat Indonesia menjadi seperti bangsa barat bahkan dalam cara berarsitektur, Hal ini menyebabkan kreatifitas dalam berarsitektur secara tradisional menjadi mati dan berhenti, masyarakat mulai meninggalkan membangundengan cara, bentuk dan konsep tradisional, mereka mulai beralih membangun dengan metode-metode, konsep dan bentukan kolonial. Nilai-nilai luhur yang menjadi identitas Arsitektur tradisional mulai ditinggalkan dan lambat laun (hingga saat ini) mulai menghilang. Sehingga seolah-olah kita terlihat sebagai bangsa yang kehilangan jatidirinya dalam hal ber-arsitektur


Tata Letak Ruang Istana Negara
Seperti halnya Istana Merdeka, Bangunan Istana Negara juga terbagi menjadi beberapa ruang yang masing-masing memiliki fungsi yang berbeda. Terdapat sedikit perbedaan ruang yang terdapat di Istana Merdeka dengan Ruang di Istana Negara. Adapun ruang-ruang yang terdapat di Istana Negara adalah: Ruang Serambi Depan, Ruang Tamu, Ruang Koridor, Ruang Jamuan, dan Ruang Upacara. Selanjutnya ruang-ruang yang ada di Istana Negara secara lebih rinci dapat dijelaskan sebagai berikut:
a.   Ruang Serambi Depan Pada bagian depan serambi depan ini terdapat 14 buah pilar besar berwarna putih bergaya Doria, yang menyangga atap bagian depan bangunan. Selain itu, terdapat 3 buah pintu masuk serta 2 buah jendela yang tinggi dan lebar. Teras yang terdapat di serambi Istana Negara tidak begitu luas, melainkan hanya terdapat teras memanjang dengan pilar penyangga untuk pegangan di bagian Komunikasi dan edukasi. Kesan yang bisa ditangkap dari fisik bangunannya adalah kesan ”kebesaran” yang membedakannya dengan bangunan-bangunan lain. Serambi yang menghadap ke sungai Ciliwung mengingatkan para Pembesar Belanda yang pernah tinggal di gedung ini pada kanal-kanal yang terdapat di negeri asal mereka di kota Amsterdam. Serambi Depan, Istana Negara  


b.    Ruang Tamu (Ruang Tunggu Utama) Ruang ini didominasi warna putih dengan langit-langit yang tinggi. Fungsi ruang ini adalah tempat para tamu yang akan mengikuti suatu acara. Di ruang ini Presiden dan tamu negara menerima perkenalan dengan para undangan sebelum dilaksanakannya acara jamuan kenegaraan. Ruang ini digunaka juga sebagai tempat pertukaran cinderamata antara Presiden dengan Tamu Negara. Oleh karena itu ruang ini sering juga disebut dengan Ruang Cinderamata. Seperti halnya di Istana Merdeka, di Istana Negara terdapat dua buah cermin besar peninggalan pemerintah Belanda yang terpasang pada dinding bagian kiri dan kanan pintu masuk Istana Negara. Pada sisi dinding bagian timur ruang ini tergantung lukisan Penari Wanita karya pelukis Rachmansyah dan repro lukisan Suasana Timur Tengah karya D.Moerilhut. Terdapat pintu yang menuju ke kamar Ruang Tamu yang lebih kecil. Pada sisi dinding bagian barat lebih dipenuhi foto-foto koleksi pribadi.

Fungsi utama Ruang Tamu ini antara lain adalah:
1. Tempat bagi para tamu yang akan mengikuti suatu acara.
 2. Tempat bagi Presiden dan Tamu Negara menerima perkenalan dengan para undangan sebelum acara jamuan kenegaraan.
3. Tempat pertukaran cindera mata antara Presiden dan Tamu Negara. 
Di kamar Ruang Tamu terdapat dua helai kerajinan tenun Sumatera berwarna cerah dan dominasi perabot kursi warna putih krem bermotif sulur. Diruang ini juga terpasang lukisan Pantai Flores karya Basoeki Abdullah, lukisan Wajah Seorang Lelaki Bali karya Auke Cornelis Sonnega, lukisan Jenderal Soedirman karya Joes Supadyo, lukisan Pejuang Pantang Menyerah karya Rustamadji, dan lukisan Pantai Madura karya Dake Jr. Carel Lodewijk Koleksi benda seni yang lain yang tersimpan di ruang ini atara lain adalah: guci bermotif pecah seribu dari Cina Timur abad ke XIV, piring hias bermotif bunga dari Cina Timur abad ke XIX, piring hias bermotif bulan dan bunga dari Cina Timur abad ke XIX, piring hias dari Jepang jaman abad ke XVIII, sepasang guci Cloisonne dari Tiongkok, jembangan porselen merah darah sapi dari Cina, tempat sayur bertutup yang terbuat dari perak pemberian Chea Sim, President Senate of Cambodia, tempat nasi bertutup yang terbuat dari perak pemberian dari Keluarga Besar Muslim Chiang Mai, Thailand 19 April 1961,patung perunggu ”Penunggang Kuda” karya Bill Nebeken (1980), sepasang gading, dan patung Barisan Gajah yang terbuat dari gading. 

c.    Ruang Koridor Ruangan ini berfungsi sebagai penghubung antara Ruang Tamu bagian depan Istana Negara dengan Ruang Resepsi. Di sisi barat terdapat Ruang Kerja Presiden, dan disebelah timur terdapat Ruang Tamu Presiden. Dua ruang lainnya adalah ruang tunggu yang masing-masing di sisi barat adalah Ruang Tunggu Ajudan Presiden waktu acara berlangsung, sedangkan ruang sebelah timur dipakai untuk Ruang Tunggu Tamu. Di Ruang Koridor ini tergantung enam buah lukisan besar yang dilengkapi dengan benda-benda koleksi pribadi, seperti foto-foto keluarga presiden. Keenam lukisan dimaksud adalah: lukisan Penggembala Kerbau karya Basoeki Abdullah, lukisan Pohon-Pohon di kebun karya Nakajima, lukisan Bunga Flamboyan karya Sutopo, lukisan Gadis Bali karya Hatta Hambali, lukisan Sungai dalam Hutan karya Choirun Sholeh, dan repro lukisan Di Taman karya Claude Monet . Sebuah lemari buku di ruang ini didalamnya terdapat 3000 buah koleksi buku terbitan terbaru yang menguasai peredaran dunia buku, tentang pengetahuan terbaru di dunia. Tidak ketibggalan, satu set buku Ensiklopedia ”the Book of Knowledge” serta ”Britannia” volume 1 sampai 29 tampak pula disana. Buku-buku yang mengarah ke tema militer hampir tidak terlihat, lebih banyak buku yang mengarah ke perekonomian, manajemen dan filosofi, termasuk sederet Ensiklopedia Islam.
Koleksi benda-benda seni lain yang terdapat di Ruang Koridor antara lain adalah: congklak kayu, vas bunga bemotif kepala domba, guci bertutup dari kayu yang berasal dari Sumatera Selatan, guci bertutup dari Cina Timur abad ke XIX, patung perunggu Wanita Setengah Badan karya Suerry (1962), patung perunggu Kepala Seorang Gadis karya T.Pocahauh (Perancis), sepasang patung keramik Penari Wanita dan Penari Pria karya F. Widayanto, dan Gong Berstandar dari Gading persembahan Perdana Menteri Malaysia DR. Mahathir Muhammad (Desember 1983).



d.   Ruang Jamuan Ruang ini merupakan ruang yang digunakan pada waktu acara jamuan kenegaraan. Selain itu ruangan ini berfungsi sebagai ruang ramah tamah para tamu yang menghadiri suatu acara. Terdapat sekat-sekat ruang yang sering digunakan untuk berbagai acara. Di ruang ini terdapat sebuah meja makan panjang berbentuk oval yang terbuat dari kayu jati dan terdapat dua puluh empat kursi duduk atau kursi makan. Kursi makan yang berlapis kain beludru berwarna krem netral menjadikan ruangan ini nyaman, asri dan sangat serasi dengan permadani yang terhampar di bawahnya yang mempunyai paduan warna merah tua dan hijau dengan motif besar. Pada bagian sisi barat dan sisi timur ruangan terdapat masing-masing sepasang cermin tua berukuran besar, berbingkai warna emas sebagai penunjang hiasan interior ruangan. Di Ruang Makan ini juga terpasang koleksi benda seni seperti: lukisan Ngarai Sianok karya Henk Ngantung, lukisan Panen Padi karya Udin, dan lukisan Pasar Bunga karya Sarjito .Patung kayu Dewi Saraswati, patung Dewi Saraswati dan Dewi Gadru, dan Mandau juga terpasang di Ruang Jamuan ini.


e.   Ruang Upacara
Ruang Upacara digunakan pada waktu Presiden melantik Pejabat Tinggi Negara seperti Menteri, Duta Besar, Kepala Staf TNI dan Kepala Kepolisian RI. Di samping itu ruang ini juga digunakan sebagai tempat pembukaan konferensi, rapat kerja departeman, tempat penganugerahan bintang jasa atau tempat diselenggarakannya pertunjukan kesenian bagi para Tamu Negara, hingga ramah tamah Presiden dengan Veteran Perintis Kemerdekaan dalam rangka peringatan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. Ruang yang ditata dengan gaya neoklasik ini dapat menampung sekitar 1000 tamu undangan berdiri atau 350 tamu undangan duduk. Ruangan ini dilengkapi dengan panggung acara dibagian selatan gedung yang biasa digunakan untuk menampilkan pertunjukan kesenian terpilih dari seluruh pelosok Indonesia yang disajikan kepada Tamu Negara pada Jamuan Makan Malam Kenegaraan. Pada bagian latar belakang panggung terdapat hiasan berupa lambang garuda dan gambar peta Indonesia. Di ruang ini pula terdapat dua perangkat gamelan yang masing-masing adalah gamelan Jawa dan gamelan Bali. Pada sisi barat dan timur ruang upacara terdapat balkon yang pada masa Hindia Belanda digunakan sebagai tempat untuk menyaksikan pertunjukan yang biasanya demeriahkan dengan acara dansa. Di ruang ini terpasang koleksi benda seni berupa lukisan foto Presiden Republik Indonesia dan para mantan Presiden Republik Indonesia, yang masingmasing adalah: Presiden Soekarno, Presiden Soeharto, Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie, Presiden Abdurrahman Wahid, Presiden Megawati Soekarnoputri, dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Keenam lukisan tersebut merupakan karya Warso Susilo yang merupakan salah satu pegawai Istana Kepresidenan Jakarta. Saat ini beliau menjabat sebagai Kepala Subbagian Penataan Ruangan, Bagian Tata Graha, Biro Pelayanan Kerumahtanggaan, deputi Kepala Rumah Tangga Kepresidenan Bidang Kerumahtanggaan dan Pengelolaan Istana



Daftar isi



https://www.academia.edu/12871604/Arsitektur_Majapahit_untuk_Istana_Negara_Indonesia_baru

Tidak ada komentar:

Posting Komentar